Rabu, 30 November 2016

IBNU KHALDUN



IBNU KHALDUN
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. keluarganya termasuk salah satu keluarga Andakusia yang berhijrah ke Tunisia pada pertengahan abad ke-7 H. nama lengkapnya Waliyuddin Abdurahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Abdurahman ibn Khaldun. Ia menyebut asal-usulnya dari bangsa arab Hadramaut, dan sil-silahnya dari Wali ibn Hajar. Ibnu Khaldun adalah keturunan keluarga tua yang terkenal dan terpelajar. Dia dibesarkan dalam ayunan warisan yang dia terima dari keluarganya, yang diberi petujuk dengan nasib baik an tradisi-tradisinya. Dia dibesarkan dalam pangkuan ayahnya yang juga guru pertamanya. Dia membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, mempelajari berbagai macam cara membacanya (qiraat) serta penafsirannya, serta hadist dan fiqih. Dia diajari tata bahsa dan retorika oleh ulama paling terkenal di Tunisia. Saat itu pusat pendidikan islam ada di Afrika Utara, disanalah tempat berkumpunya para cendikiawan Andalusia yang tersingkir karena berbagai peristiwa atau karena negara mereka sendiri tidak ramah kepada mereka. Ibnu Khaldun menyebutkan nama-nama gurunya dalam setiap cabang ilmu, dan menggambarkan kehidupan dan karakter mereka secara apik. Dia juga menyebutkan judul buku yang dia pelajari. Dari tulisan-tulisannya, tampak bahwa dia sangat menguasai kitab-kitab hadist dan fiqih Maliki, filogofi dan puisi. Kemudia dia mempelajari ilmu logika dan filsafat selama menjalani kehidupan kenegarannya, dan menunjukan penguasaannya dalam kedua bidang itu. “semua gurunya mengakui kemampuan-kemampuannya dan memberika ijazah mereka kepadanya.
Ibnu Khaldun melanjutkan studinya hingga berumur 18 tahun. Pada saat itu Afrika Utara mengalami banyak kemelut yang membuat seluruh dunia islam dari Samarkand hingga Mauritania jatuh-maksudnya karena wabah mematikan atau, menurut istilah Ibnu Khaldun, “wabah yang menyapu bersih.” Ia adalah epidemi yang sama dengan terjadinya di Italia dan kebanyakan negara di Eropa. Dalam kemelut yang sama-sama meruntuhkan timur dan barat ini, pada 1349 M/749 H sang sejarahwan ditinggal mati oleh kedua orangtuanya dan semua gurunya. Sebagian besar penduduk Tunisia pun tewas. Ketika menyinggung istilah itu, Ibnu Khaldun merujuk kemelut ini lebih dari sekali. “ia menggulung permadania dan semua barang diatasnya,” dan, “orang-orang yang terhormat, para tokoh, dan semua cendikiawan meninggal, dan juga kedua orangtua saya. Semoga mereka mendapatkan rahmat dari Allah SWT.
Dia menyatakan sangat berdukacita atas meninggalnya kedua ortangtua dan para gurunya hingga dia kesulitan melanjutkan pendidikannya. Karena itu dia memutuskan berhijrah ke Mauritania, tempat guru-guru dan teman-temannya meninggal. Tapi kakaknya mencegahnya. Tak lama setelah mendapatkan kesempatan untuk memasuki kehidupan kenegaraan, ketika Abu Muhammad ibn Tafrakin, penguasaan Tunisia yang zalim, memanggilnya untuk menempati jabatan sekretaris pribadi tawanannya, sultan muda Abu Ishaq. Sekretaris pribadi itu harus mencantumkan nama dan stempel sultan pada surta-menyurat dan keputusan-keputusan kerajaan. Saat itu, uisa sang sejawan belum lagi 20 tahun.
MENJADI DOSEN DAN HAKIM
Ibnu Khaldun meninggalkan Tunisia pada pertengahan sya’ban 784 H/Oktober 1382 M. setelah menjali pelayaran yang sulit, dia tiba dipelabuhan Iskandariyah saat persta Bairam. Dia sampai dimesir untuk mengikuti kafilah Haji, dan dia menghabiskan satu bulan di Isn]kandariayah untuk melakukan persiapan. Karena tak bisa melaksankan keinginanya, dia pun pergi ke Kairo. Tapi sebenarnya ibadah haji itu hanya dalih agar bisa meninggal Tunisia. Sesungguhnya kedatangannya kemesir itu semacam pelarian yang disebabkan ke khawatiran nasib buruk. Tak pelak, dia ingin memanfaatkan dihupnya di Mesir dengan tenang dan santai serta menikmati kehidupan yang tidak dia dapatkan dalam perjuangan dan petualangannya di Afrika Utara.
Ketika itu usianya 52 tahun, tapi penuh aktifitas dan semangat, selalu bercita-cita mendapatkan jabatan-jabatan berpengaruh dan terhormat. Saat itu Kairo merupakan pusat pendidikan islam bagi Timur dan Barat. Reputasi istananya masyhur karena perlindunganya terhadap ilmu pengetahuan dan satra. Dia ingin menikmati perlindungan ini. Ibnu Khaldun tiba di Kairo pada awal Zulqadah 784 H/November 1382 M. dia terpesona oleh luas, besar, dan keindahan Kairo. Kesan ini sama seperti pendahuluannya setengah abad sebelumnya, Ibnu Batutah seorang pengembara ulung. Juga kesan semua orang penting dari Timur maupun Barat yang mengunjungi tempat itu sejak berabad-abad sebelumnya.
Ketika sampai di Kairo dia mengucapkan salam kepada kota itu dengan antusiasme sambil mengungkapkan kekaguman yang mendalam, keceriaan dan emosinya. Ibnu Khaldun bukan orang asing di Mesir. Masyarakat Kairo tahu banyak tentangnya. Reputasi karyanya yang berjilid-jilid, terutama muqodimah, telah mendahulia kedatangannya, beberapa saat copy-copy pertamanya dikenal di Mesir dan di negara-negara lain di Timur, kalangan intelektual dan sastrawan mengangumi muqadimmah,  berkat keasliannya, gayanya yang baru, dan isinya yang istimewa. Sesaat setelah dia tiba di Kairo secara berkelompok para cendikiawan dan mahasiswa dari segala penjuru sowan kepadanya. Ibnu Khaldun menceritakan bagian ini dengan bangga dan ramah: “para mahasiswa bergegas menemui saya untuk mencari ilmu. Walaupun saya hanya memiliki sedikit pengetahuan, mereka tak mau menerima alsana saya.” Peristiwa ini disinggung juga oleh sejumlah penulis biografinya dari Mesir. Abul Mahasin ibn Taghri Birdi menceritakan: “dia menetap di Kairo, dan untuk beberapa saat memeberikan kuliah di Masjid al-Azhar. Ia belajar dan mengajar mahasiswa.
Menurutu As-Sakhawi: “penduduk Kairo menyambut baik kedatangan dan menghormatinya. Mereka mengelilinginya berkali-kali; ternyata dia memberikan kuliah selama beberapa saat di masjid al-Azhar. Ibnu Khaldun memberi kuliah di al-Azhar. Tampaknya dia memberi kuliah hadist dan fiqih mazhab Maliki, dan menjelaskan teori-teorinya tentang masyarakat, kesukaan (al-ashabiyyah), landasan-landasan kedaulatan, muncul negara-negara dan pokok-pokok Bahasa lain yang dibahas dalam muqadimah. Kuliah-kuliah ini menunjukan bukti terbaik atas pengetahuannya yang mendalam, penelitiannya yang luas dan penyampaiannya yang menarik. Ibnu Khaldun seorang peneliti dan dosen cerdas. Ia memesona para pendengarnya dengan logika dan ke fasihan bahasanya. Ini pengakuan sejumlah ulama dan penulis Mesir yang pernah mengikuti kuliah-kuliahnya.
Setelah kedatangannya, Ibnu Khaldun mampu mendapatkan simpati masyarakat Kairo. Ia bisa meningkatkan rasa kagum dan penghargaan mereka kepadanya. Namun suasana yang baik di sekelilingnya ini tak berlangsung lama. Sementara itu Ibnu Khaldun mengenalkan diri kepada Amir istana bernama Alaudin at-Tinbugha al-Jawani. Ia melindungi dan membantunya agar bisa menghadap sultan. Saat itu sultan Az-Zahir Barquq adalah sultan Mesir yang naik takhta beberapa hari sebelum kedatangan Ibnu Khaldun. Dia menyambut baik kedatangan sang sejarawan dan tertarik atas ke pribadiannya. Menurut Ibnu Khaldun, “dia menjaga kesenangan saya. Mendorong saya merasa tak sebagai orang asing dan memberikan saya gaji besar seperti yang biasa di bayarkan kepada para ulama”.
Sultan mengangkatnya sebagai guru besar di Madrasah kamhiyah dekat Masjid Amr, sebuah lembaga pendidikan mazhab Maliki. Ibnu Khaldun tidak lupa menceritakan kuliah pertamanya di madrasah ini. Kuliah itu di ikuti sejumlah besar orang penting yang dikirim sultan. Mereka mengelilingi sang serajarawan. Ibnu Khaldun menyampaikan kuliah dengan baikpada pertemuan itu. Dia mencatat kata demi kata dalam kuliahnya tersebut. Dia berbicara tentang pahala para ulama yang mendukung negara islam, tentang kebangkitan negara-negara, dan melanjutkan pembahasannya tentang berbagai pahala dinasti-dinasti para sultan Mesir yang mendukung islam dan meningkatkan kekuasaannya, tentang perlindungan mereka terhadap ilmu pengetahuan, para ulama dan para hakim.
Pertemuan yang diikuti orang-orang penting dan terhormat untuk mendengarkan kuliah pertama dan pemikiran yang produktif itu merupakan peristiwa yang sangat hebat. Ibnu Khaldun berhati-hati mencatatnya, sebagaimana dia berhati-hati mencatat akibat yang diyakininya akan mucul. “pertemuan itu selesai dan saya mendapatkan ucapan perpisahan disertain penghormatan dan penghargaan”. Ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun merasa, dengan bangga dan percaya diri, bahwa dia tokoh istimewa dan mampu menunjukan secara khusus kehormatan dan harga dirinya.
Langkah kedua adalah keberhasilannya meraih jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Dia diangkat sebagai Hakim Agung Mazhab Maliki sekitar akhir jumadal akhir 786 H/Agustus 1384 M menggantikan Jamaluddin ibn Khair as-Sakandari, yang dibebaskaskan dari jabatanya.
Kita bisa mengerti bahwa pengankatan Ibnu Khaldun dalam jabatan hakim bukan peristiwa biasa. Dia orang asing, tapi cepat sekali mendapatkan bantuan dan jabatan dari sultan. Padahal, pada masa itu jabatan-jabatan guru besar dan hakim selalu didambakan para faqih dan ulama local; menyerahkan jabatan-jabatan ini kepada orang asing yang baru datang merupakan lelucon yang tidak bisa mereka terima dengan baik.
Beberapa bulan setelah pengangkatannya, keributan pun pecah menentang Ibnu Khaldun. Saat itu ada banyak intrik dan dendam yang menentangnya sehingga suasana dia dan pejabat-pejabat tinggi negara jadi suram, sebagaimana dia ceritakan, dan dia kehilangan simpati dan bantuan yang selama ini dia terima. Saat itu malapetaka lain menimpanya: istri dan anak-anaknya meninggal dunia dan harta miliknya hilang. Sejak kedatangannya di Mesir, dia mengharapkan keluarganya berkumpul dengannya. Tetapi sultan Tunisia menghalangi keberangkatan mereka untuk memaksa Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia. Tidak lama kemudian, sang sejarawan di bebaskan dari jabatannya dari hakim; ia dipecat. Tapi pemecatannya itu sesuai dengan keinginannya. “sultan cukup berbaik hati menaruh simpati kepada saya dari tugas yang tidak bisa saya pikul, dan sebagaimana dugaan sejumlah orang, saya tak dapat di berhentikan dengan baik. Dia mengembalikan pejabat lama ke jabatan itu dan akan membebaskan saya dari beban itu. Saya meninggalkan jabatan itu dengan kesan terbaik, masyarakat menyatakan kekecewaan, harap-harapan yang baik dan ucapan-ucpan terima kasih, dan simpati mereka serta harapan mereka untuk melihat saya kembali.
Pendek kata Ibnu Khaldun menyatakan bahwa pemecatannya hanya sebagai akibat prasangka, kedengkian dan intrik. Hal itu menimbulkan kemarahan dan penyesalan di kalangan  masyarakat Kairo, dan bahwa dia meninggalkan jabatannya dengan mempertahankan semua martabatnya. Sehingga dia tidak cocok menduduki jabatan hakim, dan bahwa dia bernafsu sekali mendapatkan jabatan itu. Ibnu Khaldun dibebaskan dari jabatannya sebagai hakim pada Jumadal Awal 787 H/Juli 1385 M. hanya setahun setelah pengangkatannya. Setelah itu dia menggunakan lagi seluruh waktunya untuk belajar dan menulis.
Pemecatan itu tak membuat Ibnu Khaldun kehilangan bantuan dan dukungan sultan. Dia tetap menjadi dosen di Madrasah Kamhiyah. Tidak lama kemudian sultan mengangkatnya sebagai guru besar Fiqih Mazhab Maliki di sekolah baru yang dia dirikan diwilayah Bain al-Qasrain (Madrasah Zahiriyyah Barquqiyyah). Dia mengajar di dua madrasah itu hingga mendekati musim haji pada 789 H. saat itulah dia memutuskan mengunjungi tanah suci. Dia meningglakan Kairo pada pertengahan say’ban dan pegi ke Hijaz melalui laut.
Kebetulan jabatan dosen Hadist di madrasah Saghatmasy kosong. Sultan mengangkatnya untuk menduduki jabatan itu sebagai penggantian kuliah fiqih di madrasah Sulthaniyyah. Dia memulai kuliahnya pada muharam 791 H dan, sebagaimana biasa, menyampaikan kuliah pembukaan di depan pertemuan terhormat. Pada mata kuliah pertamanya ia mebicarakan tentang Imam Malik, asal-usulnya, kehidupannya dan penyebaran ajaran-ajarannya.
Selama beberapa tahun Ibnu Khaldun memanfaatkan waktunya untuk meneliti dan belajar. Pada fase ini dia berhenti mencatat kehidupannya hingga awal 797 H. setidaknya, itulah yang tercantum dalam biografi mutakhirnya yang dialmpirkan dalam sejarahnya. Dia melanjutkan beberapa fase lagi otobiografinya dalam Salinan manuskrip yang dirujuk diatas, dan memberikan rincian mengenai kehidupannya hingga akhir 807 H atau beberapa bulan sebelum dia meninggal dunia.
Pada masa ini tidak ada sesuatu yang perlu di catat dalam kehidupan Ibnu Khaldun, kecuali usahanya untuk memperbaiki hubungan antara istana Kairo dan sultan-sultan di Afrika Utara.
IBNU KHALDUN DAN SOSIOLOGI
            Ibnu Khaldun berbeda dengan sejarawan-sejarawan muslim lain, bahkan dengan para pendahulunya. Ia menganggap sejarah sebagai ilmu yang berguna untuk dipelajari, bukan sekedar cerita yang hanya di catat. Dia menulis sejarah dengan metode dan penalaran yang baru, dan kajian ini mendorongnya untuk membentuk sejenis filsafat sosial. Dia menulis muqadimah (pengantar), karya sejaranya sebagai penjelasan pendahuluan bagaimana seharusnya membaca dan memahami sejarah dan peristiwa. Karena itu ia menjadikan karya yang betul-betul orisinil, yang mencatat sistem baru dalam memahami dan menjelaskan gejala-gejala sosial, dan juga memahami, mengkritik dan menganalisis sejarah.
Ibnu Khaldun menamai kajian baru yang dia temukan ini sebagai ilmu bebas, dengan pokok bahasan khusus: sosisologi atau masyarakat, dan masalah-masalah khsus, “yang harus menjelaskan semua gejala dan kondisi yang terkait dengannya, satu sama lain.
Ilmu baru yang dibentuk untuk memahami dan mengkaji sejarah ini benar-benar penting. Menurutnya ilmu berguna untuk memisahkan kebenaran dari kebohongan dalam mencatat peristiwa, dan untuk menunjukan yang mungkin dan yang tidak mungkin, dengan membahas masyarakat secara sosiologis, dan membedakan berbagai kondisi yang berkaitan dengan berbagai kondisi yang berkaitan dengannya dan bebeda dalam hakikatnya dengan berbagai kondisi yang hanya besrifat okaisonal dan kondisi lain yang tidak dapat muncul.  Dengan upaya ini kita menerapkan ilmu yang memisahkan keberadaan dari kepalsuan dalam berbagai catatan (sejarah) dan tidak menerapkan metode yang didukung bukti-bukti yang shahih.” Sehingga Ibnu Khaldun menyarankan untuk mengkaji pokok bahasan ini, yaitu ulum al-Umar (sosisologi) atau Al-Ijtimai’ al-Basyari (kondisi-kondisi masyarakat).
Dia membagi bidang kajiannya menjadi 6 bab besar:
1.      Masyarakat secara umum, jenis dan perannya di dunia.
2.      Masyarakat nomad, suku-suku dan bangsa-bangsa barbar
3.      Negara-negara, khalifah, kedaulatan dan fungsi-fungsi kerjaan
4.      Masyarakat beradab, negara dan kota
5.      Pedagang, cara kehidupan dan cara-cara mendapatkan penghidupan
6.      Ilmu pengetahuan dan cara mendapatkannya
Pembagian umum ini memberikan pengertian kepada kita tentang kajian ilmu masyarakat (sosiologi). Pembagian ini mengungkapkan banyak ketelitian dan kemampuan, terutama bila kita melihat kembali semua materi yang dibahas dalam Muqadimah, dan melihat bagaimana bidang kajian itu mengembangkan dan membuka cabang ilmu, dan bagaimana Ibnu Khaldun menata hubungan penelitiannya. Hal ini membuktikan keunggulan pemikirannya, orisinalitasnya dan kekuatan argumennya.
Ibnu Khaldun mengawali muqddimah dengan membahas nilai sejarah dan jenis-jenisnya, serta berbagai kesalahan yang dilakukan para sejarawan dalam mencatat searah dan peristiwanya. Semua ini mengakibatkan ketidak tepatan dalam penyelidikan ketika memperkirakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Namun pembahasan ini kadang lemah-kadang lemah dan parsial.
Kemudian dia melanjutkan pemabahasan dengan menunjukan perlunya mengetahui dengan pasti fakta fakta dan peristiwa yang sesuai dengan prinsip-prinsip kajian sosiologi atau ilmu tentang masyarakat ini. Dia memulai kajiannya sesuai dengan pembagian yang dia buat, dengan membicarakan sosisologi secara umum, dan menjelaskan hakikat masyarakat, pentingnya masyarakat itu dan bagaimana ia bervariasi sesuai dengan iklim, bagaimana ia terpengaruh oleh perubahan-perubahan cuaca diwilayah bertemparatur panas atau dingi, akibat atmosfir terhadap watak, warna kulit dan kondisi-kondisi manusia. Ia juga berbicara tentang geografi dunia yang dikenal pada masanya, katakanlah, geografi yang terdiri dari tujuh zona. Sebenarnya, tidak ada yang orisinal atau baru pada bab ini.

Pada bab kedua Ibnu Khaldun membahas berbagai macam masyarakat nomad, dan membicarakan secara panjang lebar masyarakat Badui dan ciri-cirinya. Serta membandingkannya dengan masyarakat perkotaan. Disini kita menemukan teori baru yang dia lahirkan. Dia membicarakan al-Ashabiyyah (kesukaan), yaitu kekuatan dan pengaruh suku atau keluarga yang didasarkan pada keluarga yang didasarkan pada keluarga dan kesamaan. ‘Ashabiyyah ini merupakan asal-usul kekuatan dan kekuasaan atau negara dalam masyarkat nomad.
Kemudian Ibnu Khaldun membicarakan tentang Bahasa Arab. Menurutnya bangsa Arab adalah bangsa bar-bar yang melakukan penaklukan untuk mencuri dan menghancurkan, dan mereka hanya berhasil di tempat-tempat yang datar dan tak berani menyebrangi pegunungan serta bukit-bukit batu karena kondisi alam mereka yang sulit. Ketika mereka menaklukan suatu negara, negara itu akan segera menjadi terpencil karena sifat nomadic mereka, ketidak taatan mereka dan tidak adanya disiplin. Sifat-sifat mereka ini berlawanan dengan masyarakat yang terorganisasi juga karena mereka senang sekali merusak dan mencuri. Sifat nomadik dan kekerasan mereka cenderung menyukai ketidak terikatan dan kebebasan, enggan tunduk kepada penguasa atau disiplin. Padahal untuk menegakkan kedaulatan diperlukan kedisiplinan, ketaatan dan kepatuhan.
Di bab ketiga Ibnu Khaldun membicarakan negara dan kedaulatan. Menurutnya, negara terbentuk melalui kesukaan dan Ashabiyyah, dan ia memiliki ciri-ciri dan bentuk-bentuk khas yang bervairiasi sesuai dengan orang-orang yang mengendalikannya. Ajaran agama juga memiliki pengaruh untuk memperkuat negara, tapi ajaran semacam itu tak dapat bertahan tanpa Ashabiyyah. Perpecahan akan melemahkan negara dan mempercepat keruntuhannya. Kedaulatan, sebagaimana negara, memiliki ciri-cirinya sebagai berikut: memonopoli kemenangan, kemewahan, kenenangan dan ketenangan. Bila mengakar, semua ciri itu akan membuat negara itu tua (dan rapuh) dan kemudian jatuh. Negara seperti manusia, secara alami memiliki usia tua. Ibnu Khaldun memperkirakan kehidupan negara, sejak kebangkitannya hingga masa remaja, usia tua dan jatuh, pada umumnya berusia tiga generasi, dan satu generasi diperkirakan selama empat puluh tahun. Jadi rata-rata kehidupan sebuah negara tidak lebih dari serratus dua puluh tahun, kecuali kasus-kasus tertentu. Disini Ibnu Khaldun mencapai puncak kreativitas dan orisinalitasnya. Tampaknya teori-teori sosial dan analisinya terhadap masyarakat berada di puncak kekuatan dan keistimewaannya.
Kemudian dia melanjutkan pembahasannya mengenai kedaulatan dan variasinya, yaitu Imamah dan Khalifah serta berbagai pendapat mengenai keduanya, ajaran-ajaran syariah dan perubahan khalifah menjadi kedaulatan, formalitas khalifah, seperti formalitas untuk mengangkat dan memilih putra mahkota, dan sebagainya, gelar-gelarnya, jabatan-jabatan ke agamaan, yaitu pengadilan-pengadilan (mahkamah-mahkamah), peradilan dan Baitul Mal (dan keuangan). Seperti jabatan-jabatan dalam cabinet, kantor-kantor pemerintahan, polisi, perintah pengasingan, tardisi-tradisi dan upacara-upacaranya, perang dan cara-caranya, iuran-iuran dan sistem-sistem perdagangan. Peryataan-pernyataanya mengenai pokok bahasan ini sangat menarik dan kuat.
Setelah pokok bahasan negara, menyusul selanjutnyanya pokok bahasan tentang negara dan kota: asal-usul kota-kota, ciri-ciri dan berbagai kondisinya, seperti kesuburan dan kemakmurannya, atau kekeringan dan kemiskinannya yang akibat-akibatnya jauh melampaui negara-negara diamana kota-kota itu berbeda. Kemudian kecenderungan orang-orang Badui terhadap kota-kota, dan ketergantungan pada batas peradabannya menjadi sasaran terakhir masyarakat dan akhir kehidupannya, yang akhirnya menjurus kepada korupsi, perbedaan-perbdaan negara dalam pertanian, industry-industri dan Bahasa-bahasa. Inilah pembahasan bab keempat muqaddimah.
Pada bab ke lima Ibnu Khaldun membicarakan penghidupan dan berbagai sarana untuk meraihnya, serta penumpukan kekayaan. Dia membicarakan perusahaan, penawaran dan permintaan, monopoli, harga, dan sebagainya; juga membincangkan tentang perdagangan, cabang-cabang dan syarat-syarat secara umum, dan menyediakan satu bab khusus untuk membahas setiap jenis perdagangan utama, seperti pertanian; tak lupa, ia membahas pembangunan, pertenunan, kebidanan dan kedokteran.
Dia mengkhususkan bab ke enam untuk membahas ilmu pengetahuan dan pendidikan. Menurutnya pendidikan adalah salah satu ciri peradaban. Ia tumbuh dan berkembang di mana peradaban itu tegak. Kemudian dia mebicarakan beberapa jenis ilmu agama dan ilmu sosial (ilmu ilahi dan ilmu insani) dengan uraian-uraian panjang mengenai berbagai visi, sihir, rahasia, hruf-huruf, kimia, tasawuf, ilmu-ilmu sihir dan tenung. Semua itu, menurut Ibnu Khaldun, adalah cabang ilmu pengetahuan.
Namun, dia mengutuk filsafat dan para filsuf. Menurutnya, filsafat itu cabang pengetahuan yang tidak berguna dan berbahaya terhadap agama dan keimanan. Bahkan, dia membahas dan membantah beberapa prinsip filsafat. Dia melanjutkan pembicaraannya tentang pendidikan dan berbagai sistemnya dan ciri-ciri sarjana, dan menyatakan bahwa banyak sarjana di negara-negara islam bukan dari bangsa Arab. Dia mengakhiri bab ini dengan pembahsan tentang filogi, retorika, prosa dan puisi serta bentuk-bentuknya yang digunakan pada saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar