IBNU KHALDUN
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei
1332 M. keluarganya termasuk salah satu keluarga Andakusia yang berhijrah ke
Tunisia pada pertengahan abad ke-7 H. nama lengkapnya Waliyuddin Abdurahman ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn
Abdurahman ibn Khaldun. Ia menyebut asal-usulnya dari bangsa arab Hadramaut,
dan sil-silahnya dari Wali ibn Hajar. Ibnu Khaldun adalah keturunan keluarga
tua yang terkenal dan terpelajar. Dia dibesarkan dalam ayunan warisan yang dia
terima dari keluarganya, yang diberi petujuk dengan nasib baik an
tradisi-tradisinya. Dia dibesarkan dalam pangkuan ayahnya yang juga guru
pertamanya. Dia membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, mempelajari berbagai macam
cara membacanya (qiraat) serta penafsirannya, serta hadist dan fiqih. Dia
diajari tata bahsa dan retorika oleh ulama paling terkenal di Tunisia. Saat itu
pusat pendidikan islam ada di Afrika Utara, disanalah tempat berkumpunya para
cendikiawan Andalusia yang tersingkir karena berbagai peristiwa atau karena
negara mereka sendiri tidak ramah kepada mereka. Ibnu Khaldun menyebutkan
nama-nama gurunya dalam setiap cabang ilmu, dan menggambarkan kehidupan dan
karakter mereka secara apik. Dia juga menyebutkan judul buku yang dia pelajari.
Dari tulisan-tulisannya, tampak bahwa dia sangat menguasai kitab-kitab hadist
dan fiqih Maliki, filogofi dan puisi. Kemudia dia mempelajari ilmu logika dan
filsafat selama menjalani kehidupan kenegarannya, dan menunjukan penguasaannya
dalam kedua bidang itu. “semua gurunya mengakui kemampuan-kemampuannya dan
memberika ijazah mereka kepadanya.
Ibnu Khaldun melanjutkan studinya hingga berumur 18 tahun. Pada
saat itu Afrika Utara mengalami banyak kemelut yang membuat seluruh dunia islam
dari Samarkand hingga Mauritania jatuh-maksudnya karena wabah mematikan atau,
menurut istilah Ibnu Khaldun, “wabah yang menyapu bersih.” Ia adalah epidemi
yang sama dengan terjadinya di Italia dan kebanyakan negara di Eropa. Dalam
kemelut yang sama-sama meruntuhkan timur dan barat ini, pada 1349 M/749 H sang
sejarahwan ditinggal mati oleh kedua orangtuanya dan semua gurunya. Sebagian
besar penduduk Tunisia pun tewas. Ketika menyinggung istilah itu, Ibnu Khaldun
merujuk kemelut ini lebih dari sekali. “ia menggulung permadania dan semua
barang diatasnya,” dan, “orang-orang yang terhormat, para tokoh, dan semua
cendikiawan meninggal, dan juga kedua orangtua saya. Semoga mereka mendapatkan
rahmat dari Allah SWT.
Dia menyatakan sangat berdukacita atas meninggalnya kedua ortangtua
dan para gurunya hingga dia kesulitan melanjutkan pendidikannya. Karena itu dia
memutuskan berhijrah ke Mauritania, tempat guru-guru dan teman-temannya
meninggal. Tapi kakaknya mencegahnya. Tak lama setelah mendapatkan kesempatan
untuk memasuki kehidupan kenegaraan, ketika Abu Muhammad ibn Tafrakin,
penguasaan Tunisia yang zalim, memanggilnya untuk menempati jabatan sekretaris
pribadi tawanannya, sultan muda Abu Ishaq. Sekretaris pribadi itu harus
mencantumkan nama dan stempel sultan pada surta-menyurat dan
keputusan-keputusan kerajaan. Saat itu, uisa sang sejawan belum lagi 20 tahun.
MENJADI DOSEN DAN HAKIM
Ibnu Khaldun meninggalkan Tunisia pada pertengahan sya’ban 784
H/Oktober 1382 M. setelah menjali pelayaran yang sulit, dia tiba dipelabuhan
Iskandariyah saat persta Bairam. Dia sampai dimesir untuk mengikuti kafilah
Haji, dan dia menghabiskan satu bulan di Isn]kandariayah untuk melakukan
persiapan. Karena tak bisa melaksankan keinginanya, dia pun pergi ke Kairo.
Tapi sebenarnya ibadah haji itu hanya dalih agar bisa meninggal Tunisia.
Sesungguhnya kedatangannya kemesir itu semacam pelarian yang disebabkan ke
khawatiran nasib buruk. Tak pelak, dia ingin memanfaatkan dihupnya di Mesir
dengan tenang dan santai serta menikmati kehidupan yang tidak dia dapatkan
dalam perjuangan dan petualangannya di Afrika Utara.
Ketika itu usianya 52 tahun, tapi penuh aktifitas dan semangat,
selalu bercita-cita mendapatkan jabatan-jabatan berpengaruh dan terhormat. Saat
itu Kairo merupakan pusat pendidikan islam bagi Timur dan Barat. Reputasi
istananya masyhur karena perlindunganya terhadap ilmu pengetahuan dan satra.
Dia ingin menikmati perlindungan ini. Ibnu Khaldun tiba di Kairo pada awal
Zulqadah 784 H/November 1382 M. dia terpesona oleh luas, besar, dan keindahan
Kairo. Kesan ini sama seperti pendahuluannya setengah abad sebelumnya, Ibnu
Batutah seorang pengembara ulung. Juga kesan semua orang penting dari Timur
maupun Barat yang mengunjungi tempat itu sejak berabad-abad sebelumnya.
Ketika sampai di Kairo dia mengucapkan salam kepada kota itu dengan
antusiasme sambil mengungkapkan kekaguman yang mendalam, keceriaan dan
emosinya. Ibnu Khaldun bukan orang asing di Mesir. Masyarakat Kairo tahu banyak
tentangnya. Reputasi karyanya yang berjilid-jilid, terutama muqodimah, telah
mendahulia kedatangannya, beberapa saat copy-copy pertamanya dikenal di
Mesir dan di negara-negara lain di Timur, kalangan intelektual dan sastrawan
mengangumi muqadimmah, berkat
keasliannya, gayanya yang baru, dan isinya yang istimewa. Sesaat setelah dia
tiba di Kairo secara berkelompok para cendikiawan dan mahasiswa dari segala
penjuru sowan kepadanya. Ibnu Khaldun menceritakan bagian ini dengan
bangga dan ramah: “para mahasiswa bergegas menemui saya untuk mencari ilmu.
Walaupun saya hanya memiliki sedikit pengetahuan, mereka tak mau menerima
alsana saya.” Peristiwa ini disinggung juga oleh sejumlah penulis biografinya
dari Mesir. Abul Mahasin ibn Taghri Birdi menceritakan: “dia menetap di Kairo,
dan untuk beberapa saat memeberikan kuliah di Masjid al-Azhar. Ia belajar dan
mengajar mahasiswa.
Menurutu As-Sakhawi: “penduduk Kairo menyambut baik kedatangan dan
menghormatinya. Mereka mengelilinginya berkali-kali; ternyata dia memberikan
kuliah selama beberapa saat di masjid al-Azhar. Ibnu Khaldun memberi kuliah di
al-Azhar. Tampaknya dia memberi kuliah hadist dan fiqih mazhab Maliki, dan
menjelaskan teori-teorinya tentang masyarakat, kesukaan (al-ashabiyyah), landasan-landasan
kedaulatan, muncul negara-negara dan pokok-pokok Bahasa lain yang dibahas dalam
muqadimah. Kuliah-kuliah ini menunjukan bukti terbaik atas pengetahuannya yang
mendalam, penelitiannya yang luas dan penyampaiannya yang menarik. Ibnu Khaldun
seorang peneliti dan dosen cerdas. Ia memesona para pendengarnya dengan logika
dan ke fasihan bahasanya. Ini pengakuan sejumlah ulama dan penulis Mesir yang
pernah mengikuti kuliah-kuliahnya.
Setelah kedatangannya, Ibnu Khaldun mampu mendapatkan simpati
masyarakat Kairo. Ia bisa meningkatkan rasa kagum dan penghargaan mereka kepadanya.
Namun suasana yang baik di sekelilingnya ini tak berlangsung lama. Sementara
itu Ibnu Khaldun mengenalkan diri kepada Amir istana bernama Alaudin
at-Tinbugha al-Jawani. Ia melindungi dan membantunya agar bisa menghadap
sultan. Saat itu sultan Az-Zahir Barquq adalah sultan Mesir yang naik takhta
beberapa hari sebelum kedatangan Ibnu Khaldun. Dia menyambut baik kedatangan
sang sejarawan dan tertarik atas ke pribadiannya. Menurut Ibnu Khaldun, “dia
menjaga kesenangan saya. Mendorong saya merasa tak sebagai orang asing dan
memberikan saya gaji besar seperti yang biasa di bayarkan kepada para ulama”.
Sultan mengangkatnya sebagai guru besar di Madrasah kamhiyah dekat
Masjid Amr, sebuah lembaga pendidikan mazhab Maliki. Ibnu Khaldun tidak lupa
menceritakan kuliah pertamanya di madrasah ini. Kuliah itu di ikuti sejumlah
besar orang penting yang dikirim sultan. Mereka mengelilingi sang serajarawan.
Ibnu Khaldun menyampaikan kuliah dengan baikpada pertemuan itu. Dia mencatat
kata demi kata dalam kuliahnya tersebut. Dia berbicara tentang pahala para
ulama yang mendukung negara islam, tentang kebangkitan negara-negara, dan
melanjutkan pembahasannya tentang berbagai pahala dinasti-dinasti para sultan
Mesir yang mendukung islam dan meningkatkan kekuasaannya, tentang perlindungan
mereka terhadap ilmu pengetahuan, para ulama dan para hakim.
Pertemuan yang diikuti orang-orang penting dan terhormat untuk
mendengarkan kuliah pertama dan pemikiran yang produktif itu merupakan
peristiwa yang sangat hebat. Ibnu Khaldun berhati-hati mencatatnya, sebagaimana
dia berhati-hati mencatat akibat yang diyakininya akan mucul. “pertemuan itu
selesai dan saya mendapatkan ucapan perpisahan disertain penghormatan dan
penghargaan”. Ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun merasa, dengan bangga dan
percaya diri, bahwa dia tokoh istimewa dan mampu menunjukan secara khusus
kehormatan dan harga dirinya.
Langkah kedua adalah keberhasilannya meraih jabatan-jabatan dalam
pemerintahan. Dia diangkat sebagai Hakim Agung Mazhab Maliki sekitar akhir
jumadal akhir 786 H/Agustus 1384 M menggantikan Jamaluddin ibn Khair
as-Sakandari, yang dibebaskaskan dari jabatanya.
Kita bisa mengerti bahwa pengankatan Ibnu Khaldun dalam jabatan
hakim bukan peristiwa biasa. Dia orang asing, tapi cepat sekali mendapatkan
bantuan dan jabatan dari sultan. Padahal, pada masa itu jabatan-jabatan guru
besar dan hakim selalu didambakan para faqih dan ulama local; menyerahkan
jabatan-jabatan ini kepada orang asing yang baru datang merupakan lelucon yang
tidak bisa mereka terima dengan baik.
Beberapa bulan setelah pengangkatannya, keributan pun pecah
menentang Ibnu Khaldun. Saat itu ada banyak intrik dan dendam yang menentangnya
sehingga suasana dia dan pejabat-pejabat tinggi negara jadi suram, sebagaimana
dia ceritakan, dan dia kehilangan simpati dan bantuan yang selama ini dia
terima. Saat itu malapetaka lain menimpanya: istri dan anak-anaknya meninggal
dunia dan harta miliknya hilang. Sejak kedatangannya di Mesir, dia mengharapkan
keluarganya berkumpul dengannya. Tetapi sultan Tunisia menghalangi
keberangkatan mereka untuk memaksa Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia. Tidak lama
kemudian, sang sejarawan di bebaskan dari jabatannya dari hakim; ia dipecat.
Tapi pemecatannya itu sesuai dengan keinginannya. “sultan cukup berbaik hati
menaruh simpati kepada saya dari tugas yang tidak bisa saya pikul, dan
sebagaimana dugaan sejumlah orang, saya tak dapat di berhentikan dengan baik.
Dia mengembalikan pejabat lama ke jabatan itu dan akan membebaskan saya dari
beban itu. Saya meninggalkan jabatan itu dengan kesan terbaik, masyarakat
menyatakan kekecewaan, harap-harapan yang baik dan ucapan-ucpan terima kasih,
dan simpati mereka serta harapan mereka untuk melihat saya kembali.
Pendek kata Ibnu Khaldun menyatakan bahwa pemecatannya hanya
sebagai akibat prasangka, kedengkian dan intrik. Hal itu menimbulkan kemarahan
dan penyesalan di kalangan masyarakat
Kairo, dan bahwa dia meninggalkan jabatannya dengan mempertahankan semua
martabatnya. Sehingga dia tidak cocok menduduki jabatan hakim, dan bahwa dia bernafsu
sekali mendapatkan jabatan itu. Ibnu Khaldun dibebaskan dari jabatannya sebagai
hakim pada Jumadal Awal 787 H/Juli 1385 M. hanya setahun setelah
pengangkatannya. Setelah itu dia menggunakan lagi seluruh waktunya untuk
belajar dan menulis.
Pemecatan itu tak membuat Ibnu Khaldun kehilangan bantuan dan
dukungan sultan. Dia tetap menjadi dosen di Madrasah Kamhiyah. Tidak lama
kemudian sultan mengangkatnya sebagai guru besar Fiqih Mazhab Maliki di sekolah
baru yang dia dirikan diwilayah Bain al-Qasrain (Madrasah Zahiriyyah
Barquqiyyah). Dia mengajar di dua madrasah itu hingga mendekati musim haji pada
789 H. saat itulah dia memutuskan mengunjungi tanah suci. Dia meningglakan
Kairo pada pertengahan say’ban dan pegi ke Hijaz melalui laut.
Kebetulan jabatan dosen Hadist di madrasah Saghatmasy kosong.
Sultan mengangkatnya untuk menduduki jabatan itu sebagai penggantian kuliah
fiqih di madrasah Sulthaniyyah. Dia memulai kuliahnya pada muharam 791 H dan,
sebagaimana biasa, menyampaikan kuliah pembukaan di depan pertemuan terhormat.
Pada mata kuliah pertamanya ia mebicarakan tentang Imam Malik, asal-usulnya,
kehidupannya dan penyebaran ajaran-ajarannya.
Selama beberapa tahun Ibnu Khaldun memanfaatkan waktunya untuk
meneliti dan belajar. Pada fase ini dia berhenti mencatat kehidupannya hingga
awal 797 H. setidaknya, itulah yang tercantum dalam biografi mutakhirnya yang
dialmpirkan dalam sejarahnya. Dia melanjutkan beberapa fase lagi otobiografinya
dalam Salinan manuskrip yang dirujuk diatas, dan memberikan rincian mengenai
kehidupannya hingga akhir 807 H atau beberapa bulan sebelum dia meninggal
dunia.
Pada masa ini tidak ada sesuatu yang perlu di catat dalam kehidupan
Ibnu Khaldun, kecuali usahanya untuk memperbaiki hubungan antara istana Kairo
dan sultan-sultan di Afrika Utara.
IBNU KHALDUN DAN SOSIOLOGI
Ibnu Khaldun
berbeda dengan sejarawan-sejarawan muslim lain, bahkan dengan para
pendahulunya. Ia menganggap sejarah sebagai ilmu yang berguna untuk dipelajari,
bukan sekedar cerita yang hanya di catat. Dia menulis sejarah dengan metode dan
penalaran yang baru, dan kajian ini mendorongnya untuk membentuk sejenis
filsafat sosial. Dia menulis muqadimah (pengantar), karya sejaranya
sebagai penjelasan pendahuluan bagaimana seharusnya membaca dan memahami
sejarah dan peristiwa. Karena itu ia menjadikan karya yang betul-betul
orisinil, yang mencatat sistem baru dalam memahami dan menjelaskan
gejala-gejala sosial, dan juga memahami, mengkritik dan menganalisis sejarah.
Ibnu Khaldun menamai kajian baru yang dia temukan ini sebagai ilmu
bebas, dengan pokok bahasan khusus: sosisologi atau masyarakat, dan
masalah-masalah khsus, “yang harus menjelaskan semua gejala dan kondisi yang
terkait dengannya, satu sama lain.
Ilmu baru yang dibentuk untuk memahami dan mengkaji sejarah ini
benar-benar penting. Menurutnya ilmu berguna untuk memisahkan kebenaran dari
kebohongan dalam mencatat peristiwa, dan untuk menunjukan yang mungkin dan yang
tidak mungkin, dengan membahas masyarakat secara sosiologis, dan membedakan
berbagai kondisi yang berkaitan dengan berbagai kondisi yang berkaitan
dengannya dan bebeda dalam hakikatnya dengan berbagai kondisi yang hanya
besrifat okaisonal dan kondisi lain yang tidak dapat muncul. Dengan upaya ini kita menerapkan ilmu yang
memisahkan keberadaan dari kepalsuan dalam berbagai catatan (sejarah) dan tidak
menerapkan metode yang didukung bukti-bukti yang shahih.” Sehingga Ibnu Khaldun
menyarankan untuk mengkaji pokok bahasan ini, yaitu ulum al-Umar (sosisologi)
atau Al-Ijtimai’ al-Basyari (kondisi-kondisi masyarakat).
Dia membagi bidang kajiannya menjadi 6 bab besar:
1.
Masyarakat
secara umum, jenis dan perannya di dunia.
2.
Masyarakat
nomad, suku-suku dan bangsa-bangsa barbar
3.
Negara-negara,
khalifah, kedaulatan dan fungsi-fungsi kerjaan
4.
Masyarakat
beradab, negara dan kota
5.
Pedagang,
cara kehidupan dan cara-cara mendapatkan penghidupan
6.
Ilmu
pengetahuan dan cara mendapatkannya
Pembagian umum ini memberikan pengertian kepada kita tentang kajian
ilmu masyarakat (sosiologi). Pembagian ini mengungkapkan banyak ketelitian dan
kemampuan, terutama bila kita melihat kembali semua materi yang dibahas dalam Muqadimah,
dan melihat bagaimana bidang kajian itu mengembangkan dan membuka cabang ilmu,
dan bagaimana Ibnu Khaldun menata hubungan penelitiannya. Hal ini membuktikan
keunggulan pemikirannya, orisinalitasnya dan kekuatan argumennya.
Ibnu Khaldun mengawali muqddimah dengan membahas nilai
sejarah dan jenis-jenisnya, serta berbagai kesalahan yang dilakukan para
sejarawan dalam mencatat searah dan peristiwanya. Semua ini mengakibatkan
ketidak tepatan dalam penyelidikan ketika memperkirakan apa yang mungkin dan
apa yang tidak mungkin terjadi. Namun pembahasan ini kadang lemah-kadang lemah
dan parsial.
Kemudian dia melanjutkan pemabahasan dengan menunjukan perlunya
mengetahui dengan pasti fakta fakta dan peristiwa yang sesuai dengan
prinsip-prinsip kajian sosiologi atau ilmu tentang masyarakat ini. Dia memulai
kajiannya sesuai dengan pembagian yang dia buat, dengan membicarakan sosisologi
secara umum, dan menjelaskan hakikat masyarakat, pentingnya masyarakat itu dan
bagaimana ia bervariasi sesuai dengan iklim, bagaimana ia terpengaruh oleh
perubahan-perubahan cuaca diwilayah bertemparatur panas atau dingi, akibat
atmosfir terhadap watak, warna kulit dan kondisi-kondisi manusia. Ia juga
berbicara tentang geografi dunia yang dikenal pada masanya, katakanlah,
geografi yang terdiri dari tujuh zona. Sebenarnya, tidak ada yang orisinal atau
baru pada bab ini.
Pada bab kedua Ibnu Khaldun membahas berbagai macam masyarakat
nomad, dan membicarakan secara panjang lebar masyarakat Badui dan ciri-cirinya.
Serta membandingkannya dengan masyarakat perkotaan. Disini kita menemukan teori
baru yang dia lahirkan. Dia membicarakan al-Ashabiyyah (kesukaan), yaitu
kekuatan dan pengaruh suku atau keluarga yang didasarkan pada keluarga yang
didasarkan pada keluarga dan kesamaan. ‘Ashabiyyah ini merupakan
asal-usul kekuatan dan kekuasaan atau negara dalam masyarkat nomad.
Kemudian Ibnu Khaldun membicarakan tentang Bahasa Arab. Menurutnya
bangsa Arab adalah bangsa bar-bar yang melakukan penaklukan untuk mencuri dan
menghancurkan, dan mereka hanya berhasil di tempat-tempat yang datar dan tak
berani menyebrangi pegunungan serta bukit-bukit batu karena kondisi alam mereka
yang sulit. Ketika mereka menaklukan suatu negara, negara itu akan segera
menjadi terpencil karena sifat nomadic mereka, ketidak taatan mereka dan tidak
adanya disiplin. Sifat-sifat mereka ini berlawanan dengan masyarakat yang
terorganisasi juga karena mereka senang sekali merusak dan mencuri. Sifat
nomadik dan kekerasan mereka cenderung menyukai ketidak terikatan dan
kebebasan, enggan tunduk kepada penguasa atau disiplin. Padahal untuk
menegakkan kedaulatan diperlukan kedisiplinan, ketaatan dan kepatuhan.
Di bab ketiga Ibnu Khaldun membicarakan negara dan kedaulatan. Menurutnya,
negara terbentuk melalui kesukaan dan Ashabiyyah, dan ia memiliki
ciri-ciri dan bentuk-bentuk khas yang bervairiasi sesuai dengan orang-orang
yang mengendalikannya. Ajaran agama juga memiliki pengaruh untuk memperkuat
negara, tapi ajaran semacam itu tak dapat bertahan tanpa Ashabiyyah. Perpecahan
akan melemahkan negara dan mempercepat keruntuhannya. Kedaulatan, sebagaimana
negara, memiliki ciri-cirinya sebagai berikut: memonopoli kemenangan,
kemewahan, kenenangan dan ketenangan. Bila mengakar, semua ciri itu akan
membuat negara itu tua (dan rapuh) dan kemudian jatuh. Negara seperti manusia,
secara alami memiliki usia tua. Ibnu Khaldun memperkirakan kehidupan negara,
sejak kebangkitannya hingga masa remaja, usia tua dan jatuh, pada umumnya
berusia tiga generasi, dan satu generasi diperkirakan selama empat puluh tahun.
Jadi rata-rata kehidupan sebuah negara tidak lebih dari serratus dua puluh
tahun, kecuali kasus-kasus tertentu. Disini Ibnu Khaldun mencapai puncak
kreativitas dan orisinalitasnya. Tampaknya teori-teori sosial dan analisinya
terhadap masyarakat berada di puncak kekuatan dan keistimewaannya.
Kemudian dia melanjutkan pembahasannya mengenai kedaulatan dan
variasinya, yaitu Imamah dan Khalifah serta berbagai pendapat
mengenai keduanya, ajaran-ajaran syariah dan perubahan khalifah menjadi
kedaulatan, formalitas khalifah, seperti formalitas untuk mengangkat dan
memilih putra mahkota, dan sebagainya, gelar-gelarnya, jabatan-jabatan ke
agamaan, yaitu pengadilan-pengadilan (mahkamah-mahkamah), peradilan dan Baitul
Mal (dan keuangan). Seperti jabatan-jabatan dalam cabinet, kantor-kantor pemerintahan,
polisi, perintah pengasingan, tardisi-tradisi dan upacara-upacaranya, perang
dan cara-caranya, iuran-iuran dan sistem-sistem perdagangan. Peryataan-pernyataanya
mengenai pokok bahasan ini sangat menarik dan kuat.
Setelah pokok bahasan negara, menyusul selanjutnyanya pokok bahasan
tentang negara dan kota: asal-usul kota-kota, ciri-ciri dan berbagai
kondisinya, seperti kesuburan dan kemakmurannya, atau kekeringan dan
kemiskinannya yang akibat-akibatnya jauh melampaui negara-negara diamana kota-kota
itu berbeda. Kemudian kecenderungan orang-orang Badui terhadap kota-kota, dan
ketergantungan pada batas peradabannya menjadi sasaran terakhir masyarakat dan
akhir kehidupannya, yang akhirnya menjurus kepada korupsi, perbedaan-perbdaan
negara dalam pertanian, industry-industri dan Bahasa-bahasa. Inilah pembahasan
bab keempat muqaddimah.
Pada bab ke lima Ibnu Khaldun membicarakan penghidupan dan berbagai
sarana untuk meraihnya, serta penumpukan kekayaan. Dia membicarakan perusahaan,
penawaran dan permintaan, monopoli, harga, dan sebagainya; juga membincangkan
tentang perdagangan, cabang-cabang dan syarat-syarat secara umum, dan
menyediakan satu bab khusus untuk membahas setiap jenis perdagangan utama,
seperti pertanian; tak lupa, ia membahas pembangunan, pertenunan, kebidanan dan
kedokteran.
Dia mengkhususkan bab ke enam untuk membahas ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Menurutnya pendidikan adalah salah satu ciri peradaban. Ia tumbuh
dan berkembang di mana peradaban itu tegak. Kemudian dia mebicarakan beberapa
jenis ilmu agama dan ilmu sosial (ilmu ilahi dan ilmu insani) dengan
uraian-uraian panjang mengenai berbagai visi, sihir, rahasia, hruf-huruf,
kimia, tasawuf, ilmu-ilmu sihir dan tenung. Semua itu, menurut Ibnu Khaldun,
adalah cabang ilmu pengetahuan.
Namun, dia mengutuk filsafat dan para filsuf. Menurutnya, filsafat
itu cabang pengetahuan yang tidak berguna dan berbahaya terhadap agama dan
keimanan. Bahkan, dia membahas dan membantah beberapa prinsip filsafat. Dia
melanjutkan pembicaraannya tentang pendidikan dan berbagai sistemnya dan
ciri-ciri sarjana, dan menyatakan bahwa banyak sarjana di negara-negara islam
bukan dari bangsa Arab. Dia mengakhiri bab ini dengan pembahsan tentang filogi,
retorika, prosa dan puisi serta bentuk-bentuknya yang digunakan pada saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar