Dosen Pengampu:
Anang Rohwiyono
Disusun Oleh :
Muhammad Hafizh Kamil (1507015031)
Robyatul Adawiyah (1507015041)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR.
HAMKA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah
SWT Tuhan Yang Maha Esa. Sholawat serta salam kami sampaikan kepada junjungan
Nabi besar Muhammad SAW. Semoga kita menjadi salah satu yang mendapat syafa’at
di Yaumil Akhir. Aamiin.
Penulisan makalah ini
adalah salah satu tugas untuk menjadi sumber nilai dan pedoman mengantarkan
mahasiswa dalam pengembangan profesi dan kepribadian islami. Selain itu makalah
ini disusun untuk mengetahui dan memahami tentang
pengertian istihab. Penulis dalam menyelesaikan makalah ini mendapat
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Anang Rohwiyono
2.
Keluarga yang senantiasa memberikan dukungan.
3.
Semua pihak yang ikut berperan dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca semua pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Jakarta, 17 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati
dan tidak disepakati . seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati
tersebut yaitu Al-Qur’an dan Assunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada tujuh
hukum islam yang tidak disepakati dan ada diantara salah satu diantaranya akan
menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishhab.
Dalam
peristilahaan ahli ushul fiqih, istishab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengibahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil
yang mengubah ketentuan itu.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian istishhab?
2.
Bagaiman tentang kehujjahan istishhab?
3.
Bagaimana pendapat ulama tentang kehujjahannya?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui tentang pengertian istishhab
2.
Untuk mengetahui kehujjahan istishhab
3.
Untuk mengetahui pendapat ulama tentang kehujjahnnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TENTANG ISTISHAB
Kata
Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara
Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى
الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ
وُجُوْدِ
مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
“Istishab
adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan
ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang
mengubah ketentuan hukum tersebut”.
Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
اِبْقَاءُ مَا كَانَ عَلَى
مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ فِى
اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِرِ
(يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ
اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
“Mengekalkan
apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah
hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini”.
Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari
bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama`
(ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan
hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah
tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan
tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab
itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan
tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan
pada masa yang lalu.
Oleh sebab itu apabila
seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau
pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’
yang meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :
الاصل فى الاشياءالاباحة
Artinya :”Pangkal sesuatu adalah
kebolehan”
Istishab adalah akhir
dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui
hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” . Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah
ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori
dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam
mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang Mufti jika
ditanya tentang suatu masalah (kejadian), maka ia secara berurutan mencari
ketetapan hukumnya dari al-kitab (al-Qur’an), Sunnah (hadits), ijma’, lalu
Qiyas. Jika dari keempat sumber hokum itu tidak didapat ketentuan hukumnya,
maka ia baru menerapkan dalil istishhab, baik bersifat negatif maupun positif.
Jika yang diragukan adalah berubahnya status quo, maka menurut hukum asal
adalah tidak langgengnya status quo tersebut.
Dari segi logika, akal
sehat dengan mudah menerima dan mendukung penggunaan istishhab. Dapat
dikemukakan di sini beberapa contoh:
1.
Tak seorang pun berhak
menuduh bahwa si fulan halal darahnya lantaran murtad, kecuali apabila ada
dalil yang menunjukkan atas kemurtadannya. Sebab menurut hokum asal, setiap
orang haram darahnya.
2.
Apabila seorang
sebelumnya diketahui masih hidup, ia tidak bias dianggap telah meninggal
kecuali apabila ada bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
3.
Seorang tak adil tidak boleh
dituduh telah fasiq, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas
kefasikkannya, karena sifat adil jika terdapat pada diri seorang, ia menjadi
sifat yang melekat sabagai jati dirinya, sampai orang yang bersangkutan
berperilaku dengan menunjukkan sifat yang berlawanan dari sifat adil, yaitu
sifat fasiq.
B. PEMBAGIAN AL-ISTISHAB
Lanjutan dari pada
pengertian al-istishab tadi, kita akan lihat pula kepada
pembahagiannya. Al-istishab mengikut klasifikasinya dapat
dibahagikan kepada 4 bagian yaitu:
1. (استصحاب الحكم الاصلى للاشياء)Istishab Hukum
Al-istishab bagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu
itu adalah harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu
memberi manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu
mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahawa hukum
asal yaitu harus pada perkara-perkara yang membawa manfaat ialah
:
Firman Allah Taala:
هو الذى خلق لكم مَّا فِى
الأَرضِ جميعًا ثم استوى إلى السماء فسوَّىهنَّ سبع سموتٍۚ وهو بكل شىءٍ عليمٌ
Artinya
:“Dialah (Allah) yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi”.
Seterusnya firman
Allah Taala:
وسخَّرلكم مَّا فى السموت
وما فى الأرض جميعًا مِّنهۚ إنَّ فى ذلك لَأَيتٍ لِّقومٍ يتفكرونَ
Artinya :“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan
kegunaaan) kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai
rahmat pemberian) daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi
tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya) bagi kaum yang
memikirkannya dengan teliti ”.
Dari pada kedua-dua ayat tersebut,dapat difahami bahawa segala
yang ada di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya
perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak menjadikannya
untuk manusia.
Selain itu,antara dalil yang menunjukkan bahawa asal pada perkara
yang memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum
yang tertentu mengenainya adalah haram seperti hadis yang bahawa Rasulullah
bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
Maksudnya
:“ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.
Melalui
hadis ini, dapat difahami bahawa hadis ini merupakan larangan kepada setiap
perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa mahupun orang
lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya
adalah haram.
2. Istishab
al-Bara’ah al-Ashliyah ( إستصحاب العدم الأصلي أو البراءة
الأصلية )
Al-Istishab bahagian
ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.Al-Istishab ini
juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah terlepas daripada
bebanan dan kewajiban syara’ sehingga terdapatlah dalil atau
bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya ialah
lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul
tanggungjawab sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan
perkahwinan yang sah.
Di antara contoh lain juga ialah
jika seseorang mendakwa Muhammad berhutang kepadanya sebanyak RM100 dan tidak
mengemukakan bukti sedangkan Muhammad tidak mengakui dakwaan tersebut,maka
tertuduh yaitu Muhammad terlepas daripada hutang itu kerana asalnya dia
terlepas daripada sebarang bebanan atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil
menunjukkan sebaliknya.
3. Istishab Sifat ( إستصحاب الوصف المثبت للحكم الشرعي حتى يثبت خلافه )
Al-Istishab ini
bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, yaitu asal ketetapan syara’ pada
sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga terdapat dalil yang
menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum
bersih dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut
dikotori najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa. Contoh lain ialah asal
semua makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-Quran yang mencegahnya
dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan haram untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci
adalah berkekalan kerana sifat suci apabila thabit, maka diharuskan
untuk mengerjakan sembahyang dan hukum suci tersebut terus kekal
sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku salah satu
daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.
4. Istishab yang diakui oleh syara’ dan akal (إستصحاب مادل العقل
والشرع على ثبوته واستمراره)
Al-Istishab ini
membawa maksud sesuatu ketetapan hukum berlaku menurut syara’ dan
akal tentang thabitnya dan berkekalannya. arti kata lain, al-istishab
dalam pembahagian yang ke-empat ini diakui ada kaitannya dengan syara’ dan
akal.
Antara contohnya ialah
hukum halalnya perhubungan lelaki dengan perempuan adalah disebabkan
perkahwinan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan haramnya perhubungan
mereka seperti melalui perceraian atau punfasakh.
Contoh lain bagi al-istishab ini
ialah punya hak milik apabila terdapat sebab yang mewujudkan demikian, maka
ia thabit sehinggalah terdapat perkara yang menghilangkannya
iaitu apabila thabit milik sesuatu bagi seseorang dengan
mana-mana sebabnya seperti jual beli atau pusaka, maka milik itu berterusan
walaupun beberapa lama tempohnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan ternafinyakerana
sebab yang baru timbul.
Berdasarkan Istishab , beberapa prinsip Syara’ dibangun ,yaitu :
v
الاصل
فىالاشياءالاءباحة
Artinya
: Asal
segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)
Contoh :
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq
jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu
kota, perut kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias
kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya
memutuskan untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah tapi kemudian
keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram. Dengan
mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan.
v
الاصل براء ةالذ مة
Artinya : “(Menurut hukum)
asal(nya) tidak ada tanggungan”.
Contoh:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih) melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih) melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
v ما ثبت باليقين لايزول بالشك ولايزول الابيقين مثله
Artinya:“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah.
v
الاجتهاد لا ينقد
بالاجتهاد
Artinya : “Ijtihad tidak bisa
dibatalkan oleh ijtihad lainnya”.
Contoh:
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
v
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya : “Kondisi darurat
memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”.
Contoh:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok
pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang
oleh segerombolan begal, semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak
berperasaan. sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang
bisa menyadarkan para begal, karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib
Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa
membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak
dihadapan Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan
ekornya seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun
malang juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar
babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa
pikir panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan
dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar.
Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
v
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
Artinya: “Hukum itu berputar
beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaannya’illatnya”.
Contoh:
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka maka halal.
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka maka halal.
v
ما لا يتم الواجب
الا به فهو واجب
Artinya: “Sesuatu yang
karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,maka
hukumnya wajib”.
Contoh:
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup
aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi
wanita.
v
الرخصة
لاتناط بالمعاصى
Artinya: “Keringanan hukum tidak
bisa dikaitkan dengan maksiat”.
Contoh:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
C. KEHUJJAHAN ISTISHAB
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika
tidak ada dalil Syara’yang menjelaskannya antara
lain :
1.
Menurut mayoritas
Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak
dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada
masa sekarang dan masa yang akan datang,harus berdasarka dalil.
2.
Menurut mayoritas Ulama’
Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishab bisa
dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum
yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang
akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3.
Ulama’ Malikiyyah,
Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang
telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan mereka adalah bahwa
sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang
mengubahnya baik secara qath’Imaupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus,karena diduga keras belum ada perubahanya.
D. Pendapat Fuqoha Tentang Istishhab
Ulama fiqih sepakat menggunakan tiga macam istishhab yang
pertama di atas. Meskipun pada prinspnya ketiga macam istishhab ini telah
diterima secara konsensus, namun untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu
masih tak terhindarkan adanya perbedaan pendapat.
Adapun istishhab macam yang keempat, yakni istishhab
sifat, baik merupakan sifat yang melekat pada setiap orang atau sifat yang baru
datang, di antara ulama fiqih, masih terjadi perbedaan pendapat mengenai
kriteria pemakaian istishhab tersebut. Ulama Madzhab Syafi’i dan Hanbali menggunakannya
secara mutlak. Bagi orang yang memiliki sifat hidup, ia tetap dianggap hidup
hingga ada kepastian hilangnya sifat itu.
Sementara itu, ulama Madzhab Hanafy dan Maliky memakai
istishhab sifat terbatas pada hal yang
bersifat penolakan, bukan yang bersifat penetapan. Artinya, istishhab itu tidak
menerima masuknya hak-hak baru bagi pemilik sifatnya, akan tetap mempertahankan
hak-hak yang telah dimilikinya. Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hambaly mengambil
dalil istishhab sifat secara mutlak, baik bersifat penolakan atau penetapan.
Ulama
madzhab Hanafi dan Maliki menganggap orang yang berpegang pada istishab seperti mu’taridh (menolak perubahan).
Karenanya ia tidak bisa menerima hak-hak baru. Namun hak-hak yang lama masih
tetap berada ditangannya. Sedangkan ulam syafi’i dan Hambali menjadikan
istishhab sebagai dalil mu’aridh (yang melawan) dan menetapkan, yang tidak
hanya menentang belaka.
Ulama
yang berpendapat bahwa istishhab sifat merupakan hujjah tentang tetapnya
hak-hak lama, bukan merupakan sebab untuk memperoleh hak-hak baru, memberikan
contoh seperti orang yang menolak tuduhan. Pengingkaran terhadap tuduhan
mudda’i (penuduh), tidak dimaksudkan untuk menarik hak baru, tidak pula untuk
mempertahankan haknya, akan tetapi dimaksudkan untuk menolak tetapnya hak bagi
mudda’i (penuduh atau penggugat).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam al
khawarizmy berkata: istishhab adalah akhir cara untuk membuat fatwa, jika mufti
ditanya tentang hukum dari perkara yang baru maka mufti mencari hukum
pertamanya dari al qur’an, as-sunnah, ijma kemudian qiyas. Maka jika tidak ada
dalil yang dia mengambil hukumnya dengan istishhab al hal dalam melarang atau
menetapkan, maka jika berselisih dalam ketiadaan maka pada asalnya adalah ada,
dan jika berselisih dalam ada atau tidak maka asalnya tidak ada.
Hanfiyyah dan
malikiyah menjadikan istishhab liddaf’I la lil isbat yaitu dalil dalam
menetapkan sesuatu yang pada asalnya sudah ditetapkan dan bukan menjadi hujjah
menetapkan sesuatu perkara yang ada. Sedangkan syafi’iyah dan Hambaliyah
berpendapat bahwa istishhab itu hujjah liddaf’I wa lil istibat yaitu menetapkan
hukum yang sudah ditetapkan pada awalnya kemudian menetapkannya seolah-olah
dengan dalil baru.
Dari uraian
diatas tentang istishhab maka kami berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan
sebagai salah satu metode dalam mencari sebuah hukum setelah merujuk terlebih
dahulu pada al- qur’an, as-sunnah, maka jika tidak dalil yang menunjukan secara
detail maka metode istishab bisa dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, penerbit
Pustaka Firdaus, Januari 2005.
2.
Dr. H. Mundzir Suparta, MA, Drs. H. Zainuddin, MA,
ushul fiqih, penerbit PT Karya Toha Putra, semarang 2014.
3.
Djazuli, A., Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar