Rabu, 30 November 2016

pengertian istishab




Dosen Pengampu:
Anang Rohwiyono
Disusun Oleh :
Muhammad Hafizh Kamil (1507015031)
Robyatul Adawiyah (1507015041)




UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2016

KATA PENGANTAR



      Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa. Sholawat serta salam kami sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Semoga kita menjadi salah satu yang mendapat syafa’at di Yaumil Akhir. Aamiin.
      Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas untuk menjadi sumber nilai dan pedoman mengantarkan mahasiswa dalam pengembangan profesi dan kepribadian islami. Selain itu makalah ini disusun untuk mengetahui dan memahami tentang pengertian istihab. Penulis dalam menyelesaikan makalah ini mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Anang Rohwiyono
2.      Keluarga yang senantiasa memberikan dukungan.
3.      Semua pihak yang ikut berperan dalam menyelesaikan makalah ini.
                                                                             
      Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca semua pada umumnya dan bagi penulis khususnya.


Jakarta,  17 Mei 2016

                                               
                                                       Penulis

DAFTAR ISI











BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam hukum islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan tidak disepakati . seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan Assunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada tujuh hukum islam yang tidak disepakati dan ada diantara salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishhab.
Dalam peristilahaan ahli ushul fiqih, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengibahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa pengertian istishhab?
2.      Bagaiman tentang kehujjahan istishhab?
3.      Bagaimana pendapat ulama tentang kehujjahannya?

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui tentang pengertian istishhab
2.      Untuk mengetahui kehujjahan istishhab
3.      Untuk mengetahui pendapat ulama tentang kehujjahnnya





BAB II

PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN  TENTANG  ISTISHAB

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة   diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.
Sedangkan menurut isthilah, Imam al- Asnawy:
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ
 مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut”.
Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
                                                     اِبْقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ فِى اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِرِ
                                                                                                        (يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini”.
 Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.  
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1.      Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2.      Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :
الاصل فى الاشياءالاباحة
Artinya :”Pangkal sesuatu adalah kebolehan”

Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” . Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. 
Seorang Mufti jika ditanya tentang suatu masalah (kejadian), maka ia secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-kitab (al-Qur’an), Sunnah (hadits), ijma’, lalu Qiyas. Jika dari keempat sumber hokum itu tidak didapat ketentuan hukumnya, maka ia baru menerapkan dalil istishhab, baik bersifat negatif maupun positif. Jika yang diragukan adalah berubahnya status quo, maka menurut hukum asal adalah tidak langgengnya status quo tersebut.
Dari segi logika, akal sehat dengan mudah menerima dan mendukung penggunaan istishhab. Dapat dikemukakan di sini beberapa contoh:
1.      Tak seorang pun berhak menuduh bahwa si fulan halal darahnya lantaran murtad, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas kemurtadannya. Sebab menurut hokum asal, setiap orang haram darahnya.
2.      Apabila seorang sebelumnya diketahui masih hidup, ia tidak bias dianggap telah meninggal kecuali apabila ada bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
3.      Seorang tak adil tidak boleh dituduh telah fasiq, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas kefasikkannya, karena sifat adil jika terdapat pada diri seorang, ia menjadi sifat yang melekat sabagai jati dirinya, sampai orang yang bersangkutan berperilaku dengan menunjukkan sifat yang berlawanan dari sifat adil, yaitu sifat fasiq.

B.     PEMBAGIAN AL-ISTISHAB

Lanjutan dari pada pengertian al-istishab tadi, kita akan lihat pula kepada pembahagiannya. Al-istishab mengikut klasifikasinya dapat dibahagikan kepada 4 bagian yaitu:

1.  (استصحاب الحكم الاصلى للاشياء)Istishab Hukum 
Al-istishab bagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahawa hukum asal yaitu harus pada perkara-perkara yang membawa manfaat ialah :

Firman Allah Taala:
هو الذى خلق لكم مَّا فِى الأَرضِ جميعًا ثم استوى إلى السماء فسوَّىهنَّ سبع سموتٍۚ وهو بكل شىءٍ عليمٌ ۝
Artinya :“Dialah (Allah) yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi”.

 Seterusnya firman Allah Taala:
وسخَّرلكم مَّا فى السموت وما فى الأرض جميعًا مِّنهۚ إنَّ فى ذلك لَأَيتٍ لِّقومٍ يتفكرونَ ۝
Artinya :“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaaan) kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian) daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya) bagi kaum yang memikirkannya dengan teliti ”.

Dari pada kedua-dua ayat tersebut,dapat difahami bahawa segala yang ada di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak menjadikannya untuk manusia.
Selain itu,antara dalil yang menunjukkan bahawa asal pada perkara yang memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu mengenainya adalah haram seperti hadis yang bahawa Rasulullah bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
Maksudnya :“ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.
  
Melalui hadis ini, dapat difahami bahawa hadis ini merupakan larangan kepada setiap perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa mahupun orang lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya adalah haram.


2Istishab al-Bara’ah al-Ashliyah ( إستصحاب العدم الأصلي أو البراءة الأصلية )
Al-Istishab bahagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.Al-Istishab ini juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah terlepas daripada bebanan dan kewajiban syara’ sehingga terdapatlah dalil atau bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul tanggungjawab sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang sah.
Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad berhutang kepadanya sebanyak RM100 dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad tidak mengakui dakwaan tersebut,maka tertuduh yaitu Muhammad terlepas daripada hutang itu kerana asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil menunjukkan sebaliknya. 





3. Istishab Sifat ( إستصحاب الوصف المثبت للحكم الشرعي حتى يثبت خلافه )
Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, yaitu asal ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga terdapat dalil yang menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa. Contoh lain ialah asal semua makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-Quran yang mencegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan haram untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat suci apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan hukum suci tersebut terus kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku salah satu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.

4. Istishab yang diakui oleh syara’ dan akal (إستصحاب مادل العقل والشرع على ثبوته واستمراره)
Al-Istishab ini membawa maksud sesuatu ketetapan hukum berlaku menurut syara’ dan akal tentang thabitnya dan berkekalannya. arti kata lain, al-istishab dalam pembahagian yang ke-empat ini diakui ada kaitannya dengan syara’ dan akal.
Antara contohnya ialah hukum halalnya perhubungan lelaki dengan perempuan adalah disebabkan perkahwinan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan haramnya perhubungan mereka seperti melalui perceraian atau punfasakh.
Contoh lain bagi al-istishab ini ialah punya hak milik apabila terdapat sebab yang mewujudkan demikian, maka ia thabit sehinggalah terdapat perkara yang menghilangkannya iaitu apabila thabit milik sesuatu bagi seseorang dengan mana-mana sebabnya seperti jual beli atau pusaka, maka milik itu berterusan walaupun beberapa lama tempohnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan ternafinyakerana sebab yang baru timbul.
Berdasarkan Istishab , beberapa prinsip Syara’ dibangun ,yaitu :


v      الاصل فىالاشياءالاءباحة
Artinya : Asal segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)
Contoh :
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan.

v     الاصل براء ةالذ مة
Artinya : “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan”.
Contoh:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)
melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
v     ما ثبت باليقين لايزول  بالشك ولايزول الابيقين مثله 
Artinya:“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. 

v      الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد
Artinya : “Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh:
 Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.


v     الضرورات تبيح المحظورات
Artinya : “Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan. sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal, karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar.
Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.

v      الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Artinya: “Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaannya’illatnya.
Contoh:
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka maka halal
.


v      ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
Artinya: “Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,maka hukumnya wajib”.
Contoh:
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
v       الرخصة لاتناط بالمعاصى
Artinya: “Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.

C.    KEHUJJAHAN ISTISHAB

Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak ada dalil Syara’yang menjelaskannya antara lain :
1.      Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang,harus berdasarka dalil.
2.      Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3.      Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’Imaupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum ada perubahanya.

D.    Pendapat Fuqoha Tentang Istishhab
Ulama fiqih sepakat menggunakan tiga macam istishhab yang pertama di atas. Meskipun pada prinspnya ketiga macam istishhab ini telah diterima secara konsensus, namun untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu masih tak terhindarkan adanya perbedaan pendapat.
Adapun istishhab macam yang keempat, yakni istishhab sifat, baik merupakan sifat yang melekat pada setiap orang atau sifat yang baru datang, di antara ulama fiqih, masih terjadi perbedaan pendapat mengenai kriteria pemakaian istishhab tersebut. Ulama Madzhab Syafi’i dan Hanbali menggunakannya secara mutlak. Bagi orang yang memiliki sifat hidup, ia tetap dianggap hidup hingga ada kepastian hilangnya sifat itu.
Sementara itu, ulama Madzhab Hanafy dan Maliky memakai istishhab sifat terbatas pada hal  yang bersifat penolakan, bukan yang bersifat penetapan. Artinya, istishhab itu tidak menerima masuknya hak-hak baru bagi pemilik sifatnya, akan tetap mempertahankan hak-hak yang telah dimilikinya. Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hambaly mengambil dalil istishhab sifat secara mutlak, baik bersifat penolakan atau penetapan.
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki menganggap orang yang berpegang pada istishab  seperti mu’taridh (menolak perubahan). Karenanya ia tidak bisa menerima hak-hak baru. Namun hak-hak yang lama masih tetap berada ditangannya. Sedangkan ulam syafi’i dan Hambali menjadikan istishhab sebagai dalil mu’aridh (yang melawan) dan menetapkan, yang tidak hanya menentang belaka.
Ulama yang berpendapat bahwa istishhab sifat merupakan hujjah tentang tetapnya hak-hak lama, bukan merupakan sebab untuk memperoleh hak-hak baru, memberikan contoh seperti orang yang menolak tuduhan. Pengingkaran terhadap tuduhan mudda’i (penuduh), tidak dimaksudkan untuk menarik hak baru, tidak pula untuk mempertahankan haknya, akan tetapi dimaksudkan untuk menolak tetapnya hak bagi mudda’i (penuduh atau penggugat).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Imam al khawarizmy berkata: istishhab adalah akhir cara untuk membuat fatwa, jika mufti ditanya tentang hukum dari perkara yang baru maka mufti mencari hukum pertamanya dari al qur’an, as-sunnah, ijma kemudian qiyas. Maka jika tidak ada dalil yang dia mengambil hukumnya dengan istishhab al hal dalam melarang atau menetapkan, maka jika berselisih dalam ketiadaan maka pada asalnya adalah ada, dan jika berselisih dalam ada atau tidak maka asalnya tidak ada.
Hanfiyyah dan malikiyah menjadikan istishhab liddaf’I la lil isbat yaitu dalil dalam menetapkan sesuatu yang pada asalnya sudah ditetapkan dan bukan menjadi hujjah menetapkan sesuatu perkara yang ada. Sedangkan syafi’iyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa istishhab itu hujjah liddaf’I wa lil istibat yaitu menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada awalnya kemudian menetapkannya seolah-olah dengan dalil baru.
Dari uraian diatas tentang istishhab maka kami berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan sebagai salah satu metode dalam mencari sebuah hukum setelah merujuk terlebih dahulu pada al- qur’an, as-sunnah, maka jika tidak dalil yang menunjukan secara detail maka metode istishab bisa dilakukan. 





DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, penerbit Pustaka Firdaus, Januari 2005.
2.      Dr. H. Mundzir Suparta, MA, Drs. H. Zainuddin, MA, ushul fiqih, penerbit PT Karya Toha Putra, semarang 2014.
3.      Djazuli, A., Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar